Rabu, 29 Oktober 2008

kontra terhadap tki

Republika

Kamis, 11 Nopember 2004

Strategi Pemecahan Masalah TKI

Oleh :

M Moedjiman

Pemerhati/Praktisi Ketenagakerjaan dan Ketua Himpunan Pembina SDM

Indonesia (HIPSMI)

Rancangan Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja

Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) disahkan DPR pada sidang paripurna tanggal

29 September 2004. Menyusul pengesahan RUU tersebut, terjadilah penyanderaan

dua orang TKI wanita oleh pasukan militan di Irak. Bersyukur bahwa mereka

akhirnya dibebaskan tanpa syarat dan selamat kembali ke tanah air.

Dari kasus tersebut, terungkaplah kasus pemalsuan dokumen TKI, yang

sebenarnya sudah banyak terjadi selama ini. Penempatan TKI ke luar negeri,

khususnya TKI wanita (TKW) yang bekerja sebagai penatalaksana rumah tangga

(PLRT), serta TKI yang bekerja di perkebunan, memang tidak pernah sepi dari

masalah. Mulai dari jerat penipuan, pemerasan, penganiayaan, perkosaan sampai

pengusiran dan pemenjaraan. Pemecahan masalah TKI ini seperti sulitnya mengurai

benang kusut, karena banyaknya pihak yang berkepentingan dalam penempatan TKI

ke luar negeri.

Berbagai langkah dan upaya untuk mengatasi masalah TKI telah banyak

dilakukan pemerintah. Peraturan Menakertrans yang mengatur hal ini, entah sudah

berapa kali diperbaiki atau diganti. Terakhir akan diatur dengan UU PPTKILN.

Kelembagaannya pun telah berkali-kali diubah, baik di sektor pemerintah

maupun swasta. Bahkan untuk peningkatan perlindungan TKI yang pulang dari luar

negeri, Depnakertrans telah mengambil keputusan untuk memindahkan tempatnya

dari Terminal III Bandara Soekarno-Hatta ke Balai Besar TKI di Ciracas, Jakarta

Timur.

Pokok Masalah TKI

Masalah TKI ke luar negeri tidak akan dapat diatasi hanya dengan

menangani kasus-kasusnya, yang meliputi penipuan, pemerasan, penganiayaan,

pelecehan dan sebagainya. Itu semua hanya sintom-sintom dari suatu penyakit.

Itu semua hanya akibat dari masalah yang sebenarnya. Pokok permasalahannya

adalah pengangguran, kemiskinan, kebodohan, kesewenangan, dan ketidakadilan.

Pengangguran dan kemiskinan adalah saudara kembar. Daerah sumber

TKI/TKW pada umumnya daerah yang tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinannya

tinggi. Karena tidak memiliki prospek untuk dapat bekerja dengan penghasilan

untuk hidup layak di daerahnya, mereka nekad mencari pekerjaan di luar negeri.

Itulah yang menjadi faktor pendorong utama (pushing power) mencari kerja ke

luar negeri. Mereka bukan tidak tahu risiko yang akan dialami, baik dari segi

fisik, ekonomi, maupun sosial.

Dari segi fisik, risikonya dapat berupa pelecehan, penganiayaan sampai

pembunuhan. Dari segi ekonomi risikonya berupa penipuan, pemerasan, pemalakan,

dan perampokan. Dari segi sosial risikonya berupa pisah dengan keluarga dan

saudara untuk jangka waktu lama yang dapat menimbulkan dampak pada berbagai

masalah sosial keluarga.

Kualitas Rendah

TKI/TKW untuk tenaga kasar dan PLRT, umumnya berpendidikan rendah.

Malah ada yang sekolah dasar pun tidak tamat. Keterampilannya pun tidak

seberapa. Sebagian memang dilatih di Balai Pelatihan Kerja Luar Negeri (BLKLN),

tetapi hanya ala kadarnya dan belum berbasis kompetensi. Kadang malah hanya

dilatih bagaimana menjawab soal uji kompetensi yang sebenarnya, sehingga

kelulusannya bukan jaminan mutu.

Maka dapat dimengerti bila kemudian banyak terjadi kasus penganiayaan

dan kecelakaan kerja sebagai akibat dari kejengkelan majikan dan tidak

kompetennya TKI. Jadi, untuk ini, pemecahan masalah TKI secara tuntas harus

dimulai dari pembenahan sistem pendidikan dan pelatihan TKI serta sistem uji

kompetensinya.

Lalu kesewenangan dan ketidakadilan seakah-akan telah menjadi ciri dari

negeri tercinta ini. Tengok saja perbedaan perlakuan terhadap pencuri ayam dan

pembobol bank. Ironisnya pemerintah yang mestinya melindungi yang lemah malah

lebih mengutamakan pelayanan kepada yang kuat. Mungkin halaman ini tidak lapang

untuk mencontohkan bentuk-bentuk kesewenangan dan ketidakadilan tersebut.

Dalam kaitannya dengan TKI ke luar negeri, kenapa yang dikenai berbagai

pungutan, baik resmi maupun tidak resmi, hanya TKI/TKW informal? Kenapa TKI

ahli dan terampil di bidang pertambangan, telekomunikasi, penerbangan,

perhotelan dan sebagainya, bebas dari pungutan? Bagaimana pula dengan TKI

ilegal? Mereka tidak kena pungutan, tetapi kalau ada masalah di luar negeri,

ditangani dengan menggunakan dana dari pungutan TKI/TKW legal.

Strategi Dasar

Ada empat strategi dasar yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah

TKI/TKW secara tuntas. Strategi dasar tersebut adalah, pertama, penciptaan

kesempatan kerja produktif di daerah-daerah sumber TKI/TKW, pendidikan dan

pelatihan yang berbasis kompetensi, restrukturisasi kelembagaan penempatan

TKI/TKW dan peningkatan perlindungan dan pengawasan (law enforcement).

Faktor pendorong utama TKI/TKW ke luar negeri adalah langkanya

kesempatan kerja di daerahnya. Oleh karena itu, pertama, penciptaan lapangan

kerja yang produktif dan remunatif harus dikembangkan untuk menahan arus

TKI/TKW ke luar negeri secara bertahap. Apabila di daerahnya cukup tersedia

kesempatan kerja yang produktif dan dapat memberikan penghasilan yang cukup

untuk hidup layak, para TKI/TKW akan berpikir seribu kali untuk mengadu nasib

ke luar negeri yang penuh resiko dan bahaya.

Penciptaan kesempatan kerja yang produktif dapat dilakukan dengan

mengembangkan usaha-usaha kecil dan mikro di bidang pertanian, perikanan,

holtikultura, perkebunan, serta pengolahan hasil-hasil pertanian. Juga dapat

dilakukan pembangunan infrastruktur dengan sistem padat karya, misalnya jalan

desa, irigasi, dan perbaikan perumahan.

Untuk pengembangan usaha-usaha penciptaan kesempatan kerja produktif

seperti itu diperlukan biaya. Kalau memang ada keberpihakan terhadap yang

lemah, nampaknya pemerintah tidak terlalu sulit mengalokasikan dana untuk itu.

Baik dalam bentuk proyek-proyek seperti jaring pengaman sosial, kompensasi

subsidi BBM, maupun dalam bentuk pinjaman tanpa agunan, bantuan dana bergulir,

dan sebagainya. Jumlahnya pasti tidak akan sebesar dana BLBI.

Kedua, kualitas TKI/TKW harus ditingkatkan agar mampu bersaing dan

dapat mengakses kesempatan kerja yang ada, baik di daerahnya maupun di luar

negeri. Kurangnya kualtias TKI/TKW menjadikan mereka tidak punya daya tawar,

mudah ditipu, kurang mampu melaksanakan tugas pekerjaannya dengan baik, kurang

mandiri, dan sebagainya.

Peningkatan kualitas TKI/TKW dapat dilakukan melalui pendidikan dan

pelatihan yang berbasis kompetensi. Ada tiga jenis kompetensi yang harus

menjadi kandungan kurikulum diklat TKI/TKW, yaitu kompetensi spiritual,

kompetensi sosial dan kompetensi teknis.

Kompetensi spiritual untuk membangun sikap mental dan etos kerja yang

kuat, sedangkan kompetensi sosial untuk menjadikan mereka mampu bergaul dan

berkomunikasi dengan baik serta cepat beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan

lingkungan. Sementara kompetensi teknis, sesuai dengan bidangnya, diperlukan

agar mereka dapat melakukan pekerjaannya dengan baik dan terhindar dari

kecelakaan kerja.

Pendidikan dan pelatihan seperti itu harus dilakukan secara intensif

dan komprehensif dengan manajemen dan kendali mutu yang efektif dan efisien.

Untuk itu, lembaga penyelenggara diklat sebagai produsen harus dipisahkan

dengan lembaga penguji dan sertifikasi sebagai penjamin mutu. Oleh karena itu,

perlu adanya rstrukturisasi dan reposisi BLKLN serta lembaga uji kompetensi

(LUK) TKI/TKW yang sekarang ada.

BLKLN-nya diperluas ke seluruh lembaga pendidikan dan pelatihan yang

berminat dan memenuhi syarat. Ini sangat baik bila dilakukan di daerah-daerah

kantong TKI/TKW. Sedangkan LUK-nya dikembangkan berdasarkan bidang profesinya.

Dalam kaitannya dengan hal ini, sebaiknya sistem sertifikasi TKI/TKW

dilaksanakan dalam wadah Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang telah

dibentuk dengan PP No 23 Tahun 2004.

Dengan konsep peningkatan kualitas TKI/TKW seperti itu, tugas dan

tanggung jawab diklat TKI/TKW jangan diserahkan kepada PJTKI, tetapi harus

menjadi tugas dan tanggung jawab bersama, terutama pemerintah. Semua lembaga

pendidikan dan pelatihan yang berorientasi pada kompetensi kerja, baik

pemerintah maupun swasta, dapat dijadikan instalasi pendidkan dan pelatihan

TKI/TKW ke luar negeri.

Dengan demikian penyiapan TKI/TKW ke luar negeri adalah 'gawe' nasional

dan dilakukan secara terpadu dalam sistem pendidikan dan pelatihan nasional.

Melalui cara itu, secara bertahap kita akan dapat meningkatkan kualitas TKI/TKW

sehingga akan dapat mengurangi masalah dan meningkatkan devisa. Oleh karena

itu, pemerintah tidak rugi mengalokasikan dana yang cukup untuk peningkatan

kualitas TKI/TKW tersebut.

Ketiga, soal Lembaga penempatan TKI/TKW ke luar negeri, selama ini

dikenal dengan nama Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Jumlah

PJTKI pemegang SIUP saat ini cukup banyak, yaitu lebih dari 400 perusahaan.

Dari jumlah itu yang tergolong baik hanya 16 persen. Itu yang resmi dan belum

yang tidak resmi. PJTKI ini menempatkan TKI/TKW ke berbagai negara dan pada

berbagai bidang profesi.

Bagian terbesar menempatkan TKW PLRT adalah ke Timur Tengah, Taiwan,

Hongkong, Singapura, dan Malaysia. Sebagian terbesar lain menempatkan TKI

perkebunan ke Malaysia atau tenaga kasar konstruksi dan industri di Asia Timur.

Masih sangat sedikit PJTKI yang menempatakan TKI/TKW terampil seperti perawat,

tenaga perhotelan, teknisi listrik, mesin dan logam, tenaga telekomunikasi,

tenaga perminyakan, gas, dan sebagainya. Bahkan untuk penempatan tenaga pelaut

yang sudah jelas besar permintaannya pun masih terkendala oleh ketentuan dan

kelembagaan di Indonesia.

Pengorganisasian PJTKI lebih banyak didasarkan pada segmentasi pasar

kerja regional daripada segmentasi profesi. Diantaranya kemudian muncul

Konsorsium PTJI Timur Tengah, Asia Timur, Asia Tenggara, Eropa, Amerika dan

sebagainya. Keberpihakan pemerintah pun juga belum jelas karena semua segmen

pasar kerja diserhakan pada PJTKI melalui mekanisme pasar. Oleh karena itu

sudah saatnya untuk melakukan resturturisasi dan reposisi kelembagaan

penempatan TKI ke luar negeri.

Pengorganisasian PJTKI sebaiknya didasarkan atas profesi, sehingga

memudahkan mereka bekerja sama dengan lembaga diklat dan lembaga sertifikasi

yang juga diorganisir berdasarkan profesi. Hal ini juga akan memudahkan

menembus pasar kerja tenaga terampil yang mempersyaratkan standar kompetensi

tertentu.

Dalam UU PPTKILN disebutkan bahwa pelaksana penempatan TKI ke luar

negeri adalah pemerintah dan swasta (PJTKI). Agar tidak terjadi tumpang tindih,

perlu diatur, segmen tenaga kerja mana yang ditangani pemerintah dan mana yang

ditangani swasta. Sebaiknya pemerintah menangani segmen pasar kerja yang daya

tawarnya rendah, seperti TKI tidak terampil dan TKW PLRT. Sedang PJTKI

menangani segmen tenaga kerja yang mempunyai daya tawar tinggi seperti TKI

terampil dan ahli.

Untuk dapat menangani penamptan TKI ke luar negeri secara langsung,

pemerintah perlu membantuk PJTKI-BUMN dan atau PJTKI-BUMD. Ada beberapa

keuntungan pembentukan PJTKI-BUMD, yaitu: rekrutmen dapat memanfaatkan jalur

birokrasi sampai ke tingkat desa, sehingga dapat memotong jalur percaloan;

finansial dapat didukung dengan dana bank pembangunan daerah; rasa memiliki dan

rasa tanggung jawab pemerintah daerah akan lebih besar; dan pengawasan akan

lebih efektif karena melibatkan pemda serta DPRD untuk keperluan akses pasar.

Dalam hal ini, PJTKI-BUMN/BUMD dapat berkerja sama dengan PJTKI (swasta).

UU PPTKILN juga mengamanatkan pembentukan Badan Nasional Penempatan dan

Perlindungan TKI (BNPP-TKI) untuk memberikan pelayanan satu atap. Ini bagus

untuk efisiensi dan koordinasi. Namun, harus dirumuskan secara jelas, tanggung

jawab, dan wewenangnya untuk tidak rancu dengan peran pemerintah. Disamping itu

juga perlu diperjelas bagaimana mekanisme kerjanya agar masyarakat tidak

bingung.

Keempat, sebagian besar TKI/TKW ke luar negeri adalah TKI/TKW yang daya

tawarnya rendah, atau tidak mempunyai daya tawar sama sekali. Oleh karena itu,

peningkatan perlindungan terhadap TKI/TKW sangat diperlukan. Bentuk

perlindungannya berupa peraturan-peraturan yang mengatur prosedur, mekanisme,

dan persyaratan serta sanksi pelanggarannya di bidang penempatan TKI/TKW ke

luar negeri.

Namun, perlindungan tersebut jangat terlalu berlebihan (over

protection). Perlindungan yang terlalu berlebihan dapat mendorong arus

penempatan TKI/TKW secara ilegal, sehingga tambah menyulitkan penyelesaian

masalah TKI/TKW. Perlindungan yang terlalu berlebihan juga dapat bersifat

kontra produktif terhadap upaya peningkatan penempatan TKI terampil dan ahli ke

luar negeri.

Segmen TKI ini justru membutuhkan peraturan yang lebih luwes (flexible

labour market), karena dinamika dan mobilitasnya sagat tinggi serta pola

hubungan kerjanya sangat bervariasi. UU Penempatan dan Perlindugna TKI ke Luar

Negeri yang telah disahkan, tampak memang sangat ketat melindungi TKI/TKW.

Begitu ketatnya peraturan itu, sehingga terkesan over protection yang dapat

berdampak pada dua hal seperti diutarakan diatas.

Jadi, apakah masalah TKI ke luar negeri dapatkan dipecahkan? Jawabannya

'dapat', asal ditangani secara mendasar pada pokok permasalahannya. Akhirnya,

semua terpulang pada ada tidaknya komitmen nasional untuk mengatasi masalah

TKI/TKW ke luar negeri. Apabila ada komitmen, pemerintah mestinya tidak

ragu-ragu merubah pendekatan pungutan ke pendekatan subsidi.

Ini karena lemahnya perlindungan hukum bagi para TKW.

Seharusnya setiap TKI yang bekerja di luar dilindungi oleh kontrak kerja yang disetujui bilateral antara Indonesia dengan negara yang bersangkutan. Dengan demikian setiap TKI memiliki hak-hak hukum dan perlindungan.

Harusnya ada organisasi juga yang secara berkala mendaftar dan mengecek standar hidup para TKI. Setahu saya Filipina memiliki organisasi semacam ini.

Ini memprihatinkan, selain karena banyak para TKI yang mengadu nasib secara ilegal, pun yang legal pun saya rasa tidak memiliki perlindungan hukum yang cukup.

Perjanjian bilateral mengenai pemulangan tenaga kerja ilegalpun, adakah? Apakah hak-hak hukum tenaga kerja ilegal (sampai dipulangkan dengan selamat) dilindungi?

Tidak ada komentar: