Republika
Kamis, 11 Nopember 2004
Strategi Pemecahan Masalah TKI
Oleh :
M Moedjiman
Pemerhati/Praktisi Ketenagakerjaan dan Ketua Himpunan Pembina SDM
Rancangan Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
29 September 2004. Menyusul pengesahan RUU tersebut, terjadilah penyanderaan
dua orang TKI wanita oleh pasukan militan di Irak. Bersyukur bahwa mereka
akhirnya dibebaskan tanpa syarat dan selamat kembali ke tanah air.
Dari kasus tersebut, terungkaplah kasus pemalsuan dokumen TKI, yang
sebenarnya sudah banyak terjadi selama ini. Penempatan TKI ke luar negeri,
khususnya TKI wanita (TKW) yang bekerja sebagai penatalaksana rumah tangga
(PLRT), serta TKI yang bekerja di perkebunan, memang tidak pernah sepi dari
masalah. Mulai dari jerat penipuan, pemerasan, penganiayaan, perkosaan sampai
pengusiran dan pemenjaraan. Pemecahan masalah TKI ini seperti sulitnya mengurai
benang kusut, karena banyaknya pihak yang berkepentingan dalam penempatan TKI
ke luar negeri.
Berbagai langkah dan upaya untuk mengatasi masalah TKI telah banyak
dilakukan pemerintah. Peraturan Menakertrans yang mengatur hal ini, entah sudah
berapa kali diperbaiki atau diganti. Terakhir akan diatur dengan UU PPTKILN.
Kelembagaannya pun telah berkali-kali diubah, baik di sektor pemerintah
maupun swasta. Bahkan untuk peningkatan perlindungan TKI yang pulang dari luar
negeri, Depnakertrans telah mengambil keputusan untuk memindahkan tempatnya
dari Terminal III Bandara Soekarno-Hatta ke Balai Besar TKI di Ciracas,
Timur.
Pokok Masalah TKI
Masalah TKI ke luar negeri tidak akan dapat diatasi hanya dengan
menangani kasus-kasusnya, yang meliputi penipuan, pemerasan, penganiayaan,
pelecehan dan sebagainya. Itu semua hanya sintom-sintom dari suatu penyakit.
Itu semua hanya akibat dari masalah yang sebenarnya. Pokok permasalahannya
adalah pengangguran, kemiskinan, kebodohan, kesewenangan, dan ketidakadilan.
Pengangguran dan kemiskinan adalah saudara kembar. Daerah sumber
TKI/TKW pada umumnya daerah yang tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinannya
tinggi. Karena tidak memiliki prospek untuk dapat bekerja dengan penghasilan
untuk hidup layak di daerahnya, mereka nekad mencari pekerjaan di luar negeri.
Itulah yang menjadi faktor pendorong utama (pushing power) mencari kerja ke
luar negeri. Mereka bukan tidak tahu risiko yang akan dialami, baik dari segi
fisik, ekonomi, maupun sosial.
Dari segi fisik, risikonya dapat berupa pelecehan, penganiayaan sampai
pembunuhan. Dari segi ekonomi risikonya berupa penipuan, pemerasan, pemalakan,
dan perampokan. Dari segi sosial risikonya berupa pisah dengan keluarga dan
saudara untuk jangka waktu lama yang dapat menimbulkan dampak pada berbagai
masalah sosial keluarga.
Kualitas Rendah
TKI/TKW untuk tenaga kasar dan PLRT, umumnya berpendidikan rendah.
Malah ada yang sekolah dasar pun tidak tamat. Keterampilannya pun tidak
seberapa. Sebagian memang dilatih di Balai Pelatihan Kerja Luar Negeri (BLKLN),
tetapi hanya ala kadarnya dan belum berbasis kompetensi. Kadang malah hanya
dilatih bagaimana menjawab soal uji kompetensi yang sebenarnya, sehingga
kelulusannya bukan jaminan mutu.
Maka dapat dimengerti bila kemudian banyak terjadi kasus penganiayaan
dan kecelakaan kerja sebagai akibat dari kejengkelan majikan dan tidak
kompetennya TKI. Jadi, untuk ini, pemecahan masalah TKI secara tuntas harus
dimulai dari pembenahan sistem pendidikan dan pelatihan TKI serta sistem uji
kompetensinya.
Lalu kesewenangan dan ketidakadilan seakah-akan telah menjadi ciri dari
negeri tercinta ini. Tengok saja perbedaan perlakuan terhadap pencuri ayam dan
pembobol bank. Ironisnya pemerintah yang mestinya melindungi yang lemah malah
lebih mengutamakan pelayanan kepada yang kuat. Mungkin halaman ini tidak lapang
untuk mencontohkan bentuk-bentuk kesewenangan dan ketidakadilan tersebut.
Dalam kaitannya dengan TKI ke luar negeri, kenapa yang dikenai berbagai
pungutan, baik resmi maupun tidak resmi, hanya TKI/TKW informal? Kenapa TKI
ahli dan terampil di bidang pertambangan, telekomunikasi, penerbangan,
perhotelan dan sebagainya, bebas dari pungutan? Bagaimana pula dengan TKI
ilegal? Mereka tidak kena pungutan, tetapi kalau ada masalah di luar negeri,
ditangani dengan menggunakan dana dari pungutan TKI/TKW legal.
Strategi Dasar
TKI/TKW secara tuntas. Strategi dasar tersebut adalah, pertama, penciptaan
kesempatan kerja produktif di daerah-daerah sumber TKI/TKW, pendidikan dan
pelatihan yang berbasis kompetensi, restrukturisasi kelembagaan penempatan
TKI/TKW dan peningkatan perlindungan dan pengawasan (law enforcement).
Faktor pendorong utama TKI/TKW ke luar negeri adalah langkanya
kesempatan kerja di daerahnya. Oleh karena itu, pertama, penciptaan lapangan
kerja yang produktif dan remunatif harus dikembangkan untuk menahan arus
TKI/TKW ke luar negeri secara bertahap. Apabila di daerahnya cukup tersedia
kesempatan kerja yang produktif dan dapat memberikan penghasilan yang cukup
untuk hidup layak, para TKI/TKW akan berpikir seribu kali untuk mengadu nasib
ke luar negeri yang penuh resiko dan bahaya.
Penciptaan kesempatan kerja yang produktif dapat dilakukan dengan
mengembangkan usaha-usaha kecil dan mikro di bidang pertanian, perikanan,
holtikultura, perkebunan, serta pengolahan hasil-hasil pertanian. Juga dapat
dilakukan pembangunan infrastruktur dengan sistem padat karya, misalnya jalan
desa, irigasi, dan perbaikan perumahan.
Untuk pengembangan usaha-usaha penciptaan kesempatan kerja produktif
seperti itu diperlukan biaya. Kalau memang ada keberpihakan terhadap yang
lemah, nampaknya pemerintah tidak terlalu sulit mengalokasikan dana untuk itu.
Baik dalam bentuk proyek-proyek seperti jaring pengaman sosial, kompensasi
subsidi BBM, maupun dalam bentuk pinjaman tanpa agunan, bantuan dana bergulir,
dan sebagainya. Jumlahnya pasti tidak akan sebesar dana BLBI.
Kedua, kualitas TKI/TKW harus ditingkatkan agar mampu bersaing dan
dapat mengakses kesempatan kerja yang ada, baik di daerahnya maupun di luar
negeri. Kurangnya kualtias TKI/TKW menjadikan mereka tidak punya daya tawar,
mudah ditipu, kurang mampu melaksanakan tugas pekerjaannya dengan baik, kurang
mandiri, dan sebagainya.
Peningkatan kualitas TKI/TKW dapat dilakukan melalui pendidikan dan
pelatihan yang berbasis kompetensi.
menjadi kandungan kurikulum diklat TKI/TKW, yaitu kompetensi spiritual,
kompetensi sosial dan kompetensi teknis.
Kompetensi spiritual untuk membangun sikap mental dan etos kerja yang
kuat, sedangkan kompetensi sosial untuk menjadikan mereka mampu bergaul dan
berkomunikasi dengan baik serta cepat beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan
lingkungan. Sementara kompetensi teknis, sesuai dengan bidangnya, diperlukan
agar mereka dapat melakukan pekerjaannya dengan baik dan terhindar dari
kecelakaan kerja.
Pendidikan dan pelatihan seperti itu harus dilakukan secara intensif
dan komprehensif dengan manajemen dan kendali mutu yang efektif dan efisien.
Untuk itu, lembaga penyelenggara diklat sebagai produsen harus dipisahkan
dengan lembaga penguji dan sertifikasi sebagai penjamin mutu. Oleh karena itu,
perlu adanya rstrukturisasi dan reposisi BLKLN serta lembaga uji kompetensi
(LUK) TKI/TKW yang sekarang ada.
BLKLN-nya diperluas ke seluruh lembaga pendidikan dan pelatihan yang
berminat dan memenuhi syarat. Ini sangat baik bila dilakukan di daerah-daerah
kantong TKI/TKW. Sedangkan LUK-nya dikembangkan berdasarkan bidang profesinya.
Dalam kaitannya dengan hal ini, sebaiknya sistem sertifikasi TKI/TKW
dilaksanakan dalam wadah Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang telah
dibentuk dengan PP No 23 Tahun 2004.
Dengan konsep peningkatan kualitas TKI/TKW seperti itu, tugas dan
tanggung jawab diklat TKI/TKW jangan diserahkan kepada PJTKI, tetapi harus
menjadi tugas dan tanggung jawab bersama, terutama pemerintah. Semua lembaga
pendidikan dan pelatihan yang berorientasi pada kompetensi kerja, baik
pemerintah maupun swasta, dapat dijadikan instalasi pendidkan dan pelatihan
TKI/TKW ke luar negeri.
Dengan demikian penyiapan TKI/TKW ke luar negeri adalah 'gawe' nasional
dan dilakukan secara terpadu dalam sistem pendidikan dan pelatihan nasional.
Melalui cara itu, secara bertahap kita akan dapat meningkatkan kualitas TKI/TKW
sehingga akan dapat mengurangi masalah dan meningkatkan devisa. Oleh karena
itu, pemerintah tidak rugi mengalokasikan dana yang cukup untuk peningkatan
kualitas TKI/TKW tersebut.
Ketiga, soal Lembaga penempatan TKI/TKW ke luar negeri, selama ini
dikenal dengan nama Perusahaan Jasa Tenaga Kerja
PJTKI pemegang SIUP saat ini cukup banyak, yaitu lebih dari 400 perusahaan.
Dari jumlah itu yang tergolong baik hanya 16 persen. Itu yang resmi dan belum
yang tidak resmi. PJTKI ini menempatkan TKI/TKW ke berbagai negara dan pada
berbagai bidang profesi.
Bagian terbesar menempatkan TKW PLRT adalah ke
Hongkong, Singapura, dan
perkebunan ke
Masih sangat sedikit PJTKI yang menempatakan TKI/TKW terampil seperti perawat,
tenaga perhotelan, teknisi listrik, mesin dan logam, tenaga telekomunikasi,
tenaga perminyakan, gas, dan sebagainya. Bahkan untuk penempatan tenaga pelaut
yang sudah jelas besar permintaannya pun masih terkendala oleh ketentuan dan
kelembagaan di
Pengorganisasian PJTKI lebih banyak didasarkan pada segmentasi pasar
kerja regional daripada segmentasi profesi. Diantaranya kemudian muncul
Konsorsium PTJI Timur Tengah, Asia Timur, Asia Tenggara, Eropa, Amerika dan
sebagainya. Keberpihakan pemerintah pun juga belum jelas karena semua segmen
pasar kerja diserhakan pada PJTKI melalui mekanisme pasar. Oleh karena itu
sudah saatnya untuk melakukan resturturisasi dan reposisi kelembagaan
penempatan TKI ke luar negeri.
Pengorganisasian PJTKI sebaiknya didasarkan atas profesi, sehingga
memudahkan mereka bekerja sama dengan lembaga diklat dan lembaga sertifikasi
yang juga diorganisir berdasarkan profesi. Hal ini juga akan memudahkan
menembus pasar kerja tenaga terampil yang mempersyaratkan standar kompetensi
tertentu.
Dalam UU PPTKILN disebutkan bahwa pelaksana penempatan TKI ke luar
negeri adalah pemerintah dan swasta (PJTKI). Agar tidak terjadi tumpang tindih,
perlu diatur, segmen tenaga kerja mana yang ditangani pemerintah dan mana yang
ditangani swasta. Sebaiknya pemerintah menangani segmen pasar kerja yang daya
tawarnya rendah, seperti TKI tidak terampil dan TKW PLRT. Sedang PJTKI
menangani segmen tenaga kerja yang mempunyai daya tawar tinggi seperti TKI
terampil dan ahli.
Untuk dapat menangani penamptan TKI ke luar negeri secara langsung,
pemerintah perlu membantuk PJTKI-BUMN dan atau PJTKI-BUMD.
keuntungan pembentukan PJTKI-BUMD, yaitu: rekrutmen dapat memanfaatkan jalur
birokrasi sampai ke tingkat desa, sehingga dapat memotong jalur percaloan;
finansial dapat didukung dengan dana bank pembangunan daerah; rasa memiliki dan
rasa tanggung jawab pemerintah daerah akan lebih besar; dan pengawasan akan
lebih efektif karena melibatkan pemda serta DPRD untuk keperluan akses pasar.
Dalam hal ini, PJTKI-BUMN/BUMD dapat berkerja sama dengan PJTKI (swasta).
UU PPTKILN juga mengamanatkan pembentukan Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan TKI (BNPP-TKI) untuk memberikan pelayanan satu atap. Ini bagus
untuk efisiensi dan koordinasi. Namun, harus dirumuskan secara jelas, tanggung
jawab, dan wewenangnya untuk tidak rancu dengan peran pemerintah. Disamping itu
juga perlu diperjelas bagaimana mekanisme kerjanya agar masyarakat tidak
bingung.
Keempat, sebagian besar TKI/TKW ke luar negeri adalah TKI/TKW yang daya
tawarnya rendah, atau tidak mempunyai daya tawar sama sekali. Oleh karena itu,
peningkatan perlindungan terhadap TKI/TKW sangat diperlukan. Bentuk
perlindungannya berupa peraturan-peraturan yang mengatur prosedur, mekanisme,
dan persyaratan serta sanksi pelanggarannya di bidang penempatan TKI/TKW ke
luar negeri.
Namun, perlindungan tersebut jangat terlalu berlebihan (over
protection). Perlindungan yang terlalu berlebihan dapat mendorong arus
penempatan TKI/TKW secara ilegal, sehingga tambah menyulitkan penyelesaian
masalah TKI/TKW. Perlindungan yang terlalu berlebihan juga dapat bersifat
kontra produktif terhadap upaya peningkatan penempatan TKI terampil dan ahli ke
luar negeri.
Segmen TKI ini justru membutuhkan peraturan yang lebih luwes (flexible
labour market), karena dinamika dan mobilitasnya sagat tinggi serta pola
hubungan kerjanya sangat bervariasi. UU Penempatan dan Perlindugna TKI ke Luar
Negeri yang telah disahkan, tampak memang sangat ketat melindungi TKI/TKW.
Begitu ketatnya peraturan itu, sehingga terkesan over protection yang dapat
berdampak pada dua hal seperti diutarakan diatas.
Jadi, apakah masalah TKI ke luar negeri dapatkan dipecahkan? Jawabannya
'dapat', asal ditangani secara mendasar pada pokok permasalahannya. Akhirnya,
semua terpulang pada ada tidaknya komitmen nasional untuk mengatasi masalah
TKI/TKW ke luar negeri. Apabila ada komitmen, pemerintah mestinya tidak
ragu-ragu merubah pendekatan pungutan ke pendekatan subsidi.
Ini karena lemahnya perlindungan hukum bagi para TKW.
Seharusnya setiap TKI yang bekerja di luar dilindungi oleh kontrak kerja yang disetujui bilateral antara
Harusnya ada organisasi juga yang secara berkala mendaftar dan mengecek standar hidup para TKI. Setahu saya Filipina memiliki organisasi semacam ini.
Ini memprihatinkan, selain karena banyak para TKI yang mengadu nasib secara ilegal, pun yang legal pun saya rasa tidak memiliki perlindungan hukum yang cukup.
Perjanjian bilateral mengenai pemulangan tenaga kerja ilegalpun, adakah? Apakah hak-hak hukum tenaga kerja ilegal (sampai dipulangkan dengan selamat) dilindungi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar